Kesan Pertama Kali Menonton Tilik
(gambar dari kompasiana.com)
Untuk pertama kalinya saya menonton Tilik setelah melihat aneka komentar teman di ranah facebook sekitar satu bulan lalu. Saya memang tipe yang tidak mewajibkan diri harus mengikuti apa-apa yang tengah booming.
Tidak tanggung-tanggung, film pendek itu diputar dua kali dalam waktu yang berdekatan saat makan siang tadi. Jam makan siang saya memang panjang, sih. Maklum, pengacara. Alias pengangguran yang bakal dilamar pengusaha kaya raya. Aamiin. wkwkwkwkwkk 😆😂
Selama menonton, saya hanya tertawa sekali. Kedua kali dan ketiga kalinya justru setelah selesai menonton dan mulai menulis untuk web lagi tapi dengan jiwa yang masih merasakan 'euforia' drama pendek itu (atau apa sih istilah yang tepat untuk situasi dimana kita masih kepikiran tentang film atau drama yang baru saja ditonton)
Ini adalah ketika menyadari cara penulis skenario untuk menggambarkan sisi lain 'The Power of Emak-Emak'.
Lihat saja adegan pas Bu Tejo kebelet pipis dan mereka mampir di mushola. Juga saat turun di rumah sakit. Jelas terlihat, mereka butuh dan maunya dilayani. Menunggu Gotrek membukakan pintu, dan mengambil kursi untuk turun dengan nyaman lagi aman. Tapi ...saat ditilang polisi, tanpa Gotrek pun mereka sukses turun dan naik sendiri. Ya ampunnn😆😂
Meski begitu, saya juga mengambil pelajaran dalam drama ini bahwa menjaga sikap, terlebih bagi perempuan usia pantas menikah seperti saya, haruslah menjadi poin penting lagi utama. Seperti ujar-ujaran lama, "Tak ada asap bila tak ada api."
Tidak mungkin hadir cerita bila tak ada tingkah kita yang mengundang curiga. Maka menjaga jarak dengan kaum lelaki yang bukan mahram terutama suami orang, menjadi sangat utama. Meski tak lantas menjamin 100% mampu menutup mulut berbisa tukang ghibah yang doyan membumbui cerita dan memutarbalikkan fakta.
Tapi jika sudah ada usaha untuk mengantisipasinya, tentu akan lebih mudah dibandingkan bila kita hanya masa bodoh dan berkata, "Ini aku apa adanya. Mau terima, iya. Tidak terima ya tidak apa-apa!"
Padahal dalam agama aturannya memang demikian. Laki-laki dan perempuan bukan mahram haruslah menjaga jarak.
Dan kita, mau tidak mau, suka tidak suka memanglah makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat dengan segala aturan dan tatanannya yang terkadang abecedeh sekali tapi riskan jika dilanggar.
Lagipula daripada ribet di belakang hari, lebih baik susah payah dari sekarang. Toh nama baik memang penting. Buat kita pribadi, buat keluarga juga masyarakat pada umumnya. Jangan lagi sembunyi di balik kata 'apa adanya' lalu berharap bebas dari jerat ghibah Emak-Emak yang konon lebih cermat dan teliti daripada lulusan sekolah mata-mata terbaik. Usaha dong, usaha!
Seperti kata Bu Tejo,
"Dadi wong ki mbok yo sing solutip, toh?!"
Semoga kita semua dimudahkan untuk menjadi lebih baik lagi dalam menjaga pergaulan. Aamiin.
withlove
mia
Aku malah belum nonton..🤷♀️🤷♀️
BalasHapusTakut ketularan kaya Bu Tedjo..🤣🤣