Semua Karena Krokot, Sebuah Cerpen yang Semestinya Kamu Baca Sebelum Menanam Bunga


          (gambar dari Bertaniorganik.com)


Keterbatasan kata pada cerpen atau cerita pendek, tidak selalu berujung pada singkatnya masa pesan yang tersampaikan. 

Tema yang umum, kata-kata sederhana dengan penyajian cerdas, bisa saja menetap dalam memori untuk kemudian menjadi ibrah dalam kehidupan sehari-hari.

Semua Karena Krokot, karya Lusyanda Sudjana, adalah salah satunya. Kisah yang menang  dalam sebuah lomba cerita pendek  bertema lingkungan di sebuah grup kepenulisan beberapa tahun lalu  ini, terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Terlebih di masa sekarang ini. Masa boomingnya Dunia Hijau.

Mengawali kisah dengan penuturan tentang karakteristik tanaman yang sempat merajai dunia hijau awal tahun kemarin, Lusyanda sukses memancing rasa penasaran pembaca untuk terus mengunyah kisah klasik ini hingga selesai.


Secara runut, penulis novel Men In The Lockers ini, mulai mengungkap alasan di balik kemarahan pemilik kios bunga kepada karyawan yang lancang membagi identitasnya sebagai pemilik toko.


Mengangkat tema persaingan yang tak pernah basi karena kerap terjadi baik di dunia nyata maupun maya, penulis cantik ini menohok pembaca dengan sangat tepat sasaran dalam sebuah tuturan cerdas.


"Menanam bunga bukanlah ajang kompetisi di mana ada yang menang atau kalah."


Lalu, salahkah menanam bunga yang sedang tren? Atau tidak bolehkah memiliki hobby menanam bunga saat dunia hijau tengah booming seperti ini? Bukankah dimana ada tren di situ ada aroma persaingan?


(tangkapan layar wattpad cerpen Lusyanda)


Tidak! Tentu saja. Tapi melakukan sesuatu hanya karena mengendus aroma persaingan tanpa  mau menakar kemampuan diri, seringnya hanya membawa kerugian baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Juga objek persaingan itu sendiri tentu saja.

Dan faktanya, yang terjadi sekarang adalah demikian. Anjuran pemerintah untuk #dirumahsaja beberapa waktu lalu, menjadikan bunga hias segera menemukan lahan subur bahkan pada masa pandemi. Dimana orang berbondong-bondong mengumpulkan bahan makanan daripada pajangan.

Segera, lebih baik kalah nasi daripada kalah aksi menjadi pedoman. Uang yang tak seberapa, rela digelontorkan untuk membeli ragam bunga hias, media tanam, hingga aneka pot. 

Sayangnya, tanpa menakar kemampuan diri, hanya masalah waktu untuk melihat kemana akhir dari bunga-bunga cantik itu.  Layu sebelum berkembang setelah dizalimi dengan adegan lupa disiram dengan teratur, salah penempatan (bunga indoor dijadikan outdoor), salah media tanam bahkan tidak pernah diberi pupuk. Tempat sampah menjadi tempat peristirahatan terakhir bunga-bunga itu. Tragis.

Yang tak kalah tragis, kasus pencurian bunga hias pun mulai menyeruak. Siapa sih yang tidak tertarik menjual atau setidaknya memiliki bunga jenis tertentu yang harganya bahkan setara dengan harga sebuah motor sport?

Pandemi semakin berwarna ketika ada yang mengeluh kehilangan bunga berharga lumayan lebih dari sekali.  Ada pula yang bertengkar (tanpa masker tentunya). Saling tuding dalam jarak dekat karena kehilangan bunga dan tiba-tiba di beranda rumah lain dalam blok yang sama, nangkring bunga hias jenis baru. Persis seperti yang hilang. 


Diakah pencurinya? Entah. Hanya Tuhan dan pelaku saja yang tahu.


Meski begitu, mengikuti tren sungguh bukanlah dosa. Tetapi, memastikan kemampuan diri setara dengan besarnya keinginan adalah sangat penting. Sehingga kedepannya, tidak merugikan banyak pihak termasuk diri sendiri nantinya.


Ketimbang menjadi pengekor,  banyak-banyaklah bersyukur atas apa yang sudah dimiliki. Sehingga hati menjadi jauh dari dengki yang sejatinya lebih menyeramkan dari pandemi saat ini.

Nah, selamat membaca cerpen ini dan selamat menanam bunga☺ ;)



Tulisan ini sudah pernah tayang di Tokoh Terpopuler


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Lurah Desa Cakruk

Produktif Berkarya Tanpa Resah dengan Masa Depan Mata